CORONGSUKABUMI.com – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tahun 2026 oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), menuai gelombang protes dari kalangan buruh di Kabupaten Sukabumi. Serikat buruh menilai kebijakan tersebut mengabaikan rekomendasi pemerintah daerah serta melanggengkan praktik upah murah di Jawa Barat.
Kekecewaan itu disampaikan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) bersama Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit–Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi. Mereka menilai keputusan gubernur tidak mencerminkan keberpihakan terhadap kesejahteraan buruh, meski sebelumnya KDM disebut berjanji akan mengesahkan UMK dan UMSK sesuai rekomendasi kepala daerah.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.862-Kesra/2025 yang ditetapkan pada Rabu (24/12/2025), UMK Kabupaten Sukabumi tahun 2026 ditetapkan sebesar Rp3.831.926. Angka tersebut naik 6,31 persen atau Rp227.444 dibanding tahun sebelumnya.
Namun, besaran itu lebih rendah dari rekomendasi Bupati Sukabumi, Asep Japar, yang mengusulkan kenaikan sebesar 8 persen atau menjadi Rp3.893.201. Selain itu, UMSK yang telah diusulkan pemerintah daerah juga tidak ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat.
Ketua DPC GSBI Kabupaten Sukabumi, Dadeng Nazarudin, menyebut keputusan tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap proses perundingan tripartit yang telah dilakukan di tingkat daerah.
“Buat apa dewan pengupahan kabupaten/kota berunding, bahkan ada yang sampai berhari-hari dan larut malam. Buat apa bupati memberikan rekomendasi, kalau akhirnya oleh gubernur diubah sesuka hatinya,” ujar Dadeng, Jumat (26/12/2025).
Ia menilai tindakan tersebut menunjukkan bahwa KDM tidak berpihak kepada buruh. “Ini jelas tindakan nyata KDM tidak berpihak pada kaum buruh. Janji tinggal janji,” tegasnya.
GSBI juga menyoroti penetapan UMP Jawa Barat 2026 sebesar Rp2.317.601 yang dinilai jauh dari angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Berdasarkan survei Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan BPS, KHL Jawa Barat tercatat mencapai Rp4.122.871.
“Dengan angka itu, jelas KDM pro upah murah dan anti buruh,” kata Dadeng.
Kekecewaan buruh memuncak setelah ribuan buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, pada Rabu siang. Massa aksi menuntut KDM turun langsung menemui buruh, namun gubernur tidak hadir.
“Di sini kami mempertanyakan, apakah benar KDM ini gubernur rakyat atau sekadar gubernur konten seperti yang banyak dibicarakan orang,” sindir Dadeng.
GSBI bersama serikat buruh lainnya mendesak agar Gubernur Jawa Barat segera merevisi SK Gubernur dan menetapkan UMK serta UMSK sesuai rekomendasi bupati dan wali kota. Mereka juga menyatakan siap melanjutkan konsolidasi dan perlawanan jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi.
“Perlu diketahui, tuntutan ini sebenarnya sangat moderat. Secara politik dan perjuangan, GSBI mendorong diberlakukannya Upah Minimum Nasional (UMN) yang idealnya mencapai Rp8,2 juta pada 2026,” ungkap Dadeng.
Ia menambahkan, selama ini rumus penetapan upah minimum dinilai tidak pernah benar-benar ditujukan untuk mengejar kebutuhan hidup layak buruh. “UMK hanya dijadikan instrumen stabilitas ekonomi dan kepastian usaha, bukan alat perlindungan sosial,” imbuhnya.
Kritik serupa disampaikan Ketua FSP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi, Mochammad Popon. Ia menilai keputusan Gubernur Jawa Barat menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah provinsi dalam menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.
“Mestinya Gubernur Jawa Barat menetapkan UMK dan UMSK berdasarkan rekomendasi bupati dan wali kota. Rekomendasi itu pasti disusun dengan pertimbangan matang, bukan asal-asalan,” ujarnya.
Popon merujuk data BPS Maret 2025 yang mencatat jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 3,65 juta jiwa atau 7,02 persen, tertinggi kedua secara nasional setelah Jawa Timur. Sementara jumlah pengangguran di Jawa Barat mencapai 1,8 juta jiwa, tertinggi secara nasional dari sisi jumlah.
Menurutnya, kebijakan upah murah justru menurunkan daya beli buruh, menekan konsumsi masyarakat, dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
“Kebijakan upah murah tidak menjawab persoalan riil Jawa Barat, yaitu tingginya pengangguran dan kemiskinan,” tegasnya.
Ia menilai pemerintah daerah seharusnya menghadirkan terobosan kebijakan yang kreatif, seperti menciptakan lapangan kerja baru, mendorong investasi berkualitas, serta memberikan insentif yang tepat, bukan dengan memiskinkan buruh.
“Melanggengkan kebijakan upah murah selama puluhan tahun menunjukkan sikap pemerintah yang malas, kurang kreatif, dan tidak punya terobosan,” tandas Popon.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memberikan penjelasan terkait kebijakan penetapan UMK dan UMSK 2026. Ia menyebut kebijakan tersebut diambil berdasarkan usulan dari masing-masing daerah.
“Untuk kabupaten/kota, kita mengikuti atau menetapkan seluruh usulan yang disampaikan oleh kabupaten dan kota, baik upah minimum kabupatennya maupun upah minimum sektoralnya,” ujar KDM kepada awak media di Gedung Pakuan, Kota Bandung.
Menurutnya, pengelompokan UMSK mengikuti ketentuan pemerintah pusat. “Komponen dan kelompok upah minimum sektoral disesuaikan dengan peraturan pemerintah,” jelasnya.
KDM juga mengakui adanya perbedaan besaran upah antarwilayah di Jawa Barat yang dipengaruhi oleh kesepakatan masing-masing daerah. Ia mencontohkan Kabupaten Bekasi sebagai daerah dengan upah tertinggi di Jawa Barat.
Terkait penilaian ideal atau tidaknya besaran upah, KDM menyebut hal tersebut bersifat relatif. “Bagi saya mungkin ideal, tapi bagi pengusaha dianggap mahal, sementara bagi pekerja dianggap murah. Itu hal yang biasa,” ujarnya.
Ia menegaskan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil posisi tengah untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja dan dunia usaha, serta mendorong pemerataan investasi di berbagai wilayah.










