CORONG SUKABUMI – Gas elpiji atau liquefied petroleum gas (LPG) telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia.
Namun, kelangkaan yang terjadi belakangan ini menimbulkan dampak serius, termasuk insiden tragis seorang perempuan lansia yang meninggal dunia akibat kelelahan saat mengantre membeli gas.
Kelangkaan gas elpiji bukanlah permasalahan baru. Sejarah mencatat bahwa bahan bakar ini telah berkembang sejak awal abad ke-20 dan kini menjadi sumber energi utama di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Awal Penemuan dan Perkembangan Gas Elpiji
Gas elpiji pertama kali ditemukan pada tahun 1910 oleh Walter O. Snelling, seorang ahli kimia asal Amerika Serikat.
Penemuan ini bermula dari keluhan seorang pemilik mobil yang mendapati bensinnya cepat menguap. Dari penelitian lebih lanjut, Snelling berhasil mengisolasi propana, yang kemudian menjadi bahan utama gas elpiji.
Pada tahun 1912, Snelling memasang instalasi propana pertama untuk kebutuhan rumah tangga, dan setahun kemudian ia mematenkan teknologi ini. Hak patennya kemudian dibeli oleh Frank Phillips, pendiri ConocoPhillips, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia.
Gas elpiji mulai digunakan secara komersial pada 1920-an, terutama untuk keperluan industri, seperti pemotongan logam dan mesin pengelasan. Pada 1930-an, bahan bakar ini mulai dimanfaatkan dalam sektor transportasi dan peralatan rumah tangga.
Gas Elpiji dan Era Kapal Udara Zeppelin
Pada awal abad ke-20, gas elpiji juga digunakan sebagai bahan bakar kapal udara Zeppelin, yang menghubungkan Eropa dan Amerika Serikat.
Keunggulan gas ini adalah beratnya yang hampir setara dengan udara, sehingga tidak mempengaruhi keseimbangan pesawat.
Namun, kejayaan Zeppelin berakhir setelah insiden tragis meledaknya Hindenburg pada tahun 1937.
Sejarah Gas Elpiji di Indonesia
Gas elpiji diperkenalkan di Indonesia pada 1968 dengan tabung 12 kg sebagai alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar.
Program konversi gas elpiji semakin masif pada 2007 dengan diperkenalkannya tabung 3 kg yang lebih dikenal sebagai “gas melon.”
Langkah ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah serta memberikan bahan bakar yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Pemerintah mengatur penggunaan gas elpiji bersubsidi ini melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006.
Saat ini, gas elpiji 3 kg menjadi bahan bakar utama bagi masyarakat menengah ke bawah. Warna hijau pada tabung gas subsidi dipilih untuk memudahkan identifikasi dan meningkatkan aspek keselamatan, selain juga memiliki makna kesejahteraan dan mengikuti standar internasional.
Dampak Kelangkaan dan Harapan ke Depan
Meski gas elpiji telah menjadi kebutuhan utama, kelangkaan yang terjadi belakangan ini menimbulkan kekhawatiran. Pemerintah diharapkan dapat segera mengatasi masalah distribusi agar tidak terjadi insiden yang lebih parah di kemudian hari.
Dengan sejarah panjangnya sebagai bahan bakar utama, gas elpiji tetap menjadi kebutuhan esensial bagi masyarakat Indonesia. Keberlanjutan pasokan yang stabil sangat diperlukan agar tidak menghambat aktivitas rumah tangga maupun sektor industri yang bergantung pada energi ini.***