CORONG SUKABUMI – PT Sri Rejeki Isman (Sritex) secara resmi menghentikan operasional pabriknya mulai 1 Maret 2025 setelah Pengadilan Negeri (PN) Semarang menetapkan perusahaan dalam kondisi insolvensi, yang berarti tidak mampu membayar utang.
Putusan tersebut diambil dalam rapat yang dihadiri oleh debitur, kreditur, dan tim kurator yang menangani kepailitan Sritex.
Kurator PT Sritex, Nurma Candra Yani Sadikin, mengungkapkan bahwa proses pembahasan telah berlangsung selama 21 hari, melibatkan entitas lain dalam grup perusahaan, seperti PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandijaya.
Utang Sritex Capai Rp29,8 Triliun
Dalam daftar piutang yang telah dikonfirmasi tim kurator, Sritex memiliki total utang Rp29,8 triliun. Kreditur perusahaan terdiri dari:
94 kreditur konkuren
349 kreditur preferen
22 kreditur separatis
Beberapa utang yang telah diverifikasi meliputi:
Rp28,6 miliar kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sukoharjo
Rp189,2 miliar kepada Bea Cukai Surakarta
Rp43,6 miliar kepada PT PLN Jawa Tengah-DIY
Kurator Denny Ardiansyah menegaskan bahwa daftar piutang ini akan menjadi dasar bagi kreditur dalam menentukan langkah selanjutnya.
“Dengan besaran tagihan yang sudah diakui ini, kreditur nantinya bisa mengambil keputusan dalam rapat kreditur yang akan datang,” ujarnya.
Pengeluaran Lebih Besar dari Pemasukan
Selain utang yang besar, Sritex juga menghadapi masalah beban operasional yang jauh lebih tinggi dibandingkan pemasukan.
“Total pengeluaran gaji beserta kewajiban perusahaan lainnya untuk karyawan dalam satu bulan mencapai Rp35,03 miliar,” ungkap Nurma dalam konferensi pers di PN Semarang, Jumat, 28 Februari 2025.
Sementara itu, pemasukan perusahaan sangat terbatas:
Pendapatan Sritex hanya sekitar Rp20 miliar per bulan
PT Primayudha Mandirijaya masih mencatatkan keuntungan sekitar Rp1 miliar lebih setelah dikurangi biaya operasional
PT Bitratex Industries dan PT Sinar Pantja Djaja sudah tidak beroperasi
Karena ketimpangan ini, tim kurator menilai bahwa Sritex tidak mungkin melanjutkan operasional karena minimnya modal kerja dan beban biaya yang terlalu tinggi.
Direktur Utama PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, mengakui bahwa keterbatasan modal kerja menjadi kendala utama.
“Dengan adanya keterbatasan ruang gerak dan modal kerja, proposal going concern yang kami diskusikan sebelumnya tidak dapat mencukupi untuk pembayaran kepada kreditur,” ujar Iwan.
Hakim Tegaskan Sritex Tidak Bisa Diselamatkan
Hakim pengawas Haruno secara resmi menetapkan bahwa Sritex berada dalam kondisi insolvensi dan tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan usaha.
“Dengan demikian, kami nyatakan secara resmi bahwa insolvent kami tetapkan hari ini, Jumat, 28 Februari 2025,” tegas Haruno.
Hakim menyimpulkan bahwa skema going concern atau kelangsungan usaha tidak dapat dilakukan karena kondisi keuangan yang sangat buruk.
“Para kreditur yang kemarin meminta evaluasi mengenai cash flow debitur, inilah hasilnya,” jelasnya.
Hakim juga mengingatkan semua pihak untuk segera mengurus hak mereka melalui kepaniteraan Pengadilan Niaga Semarang sebelum proses lebih lanjut dilakukan.***